UPAYA PREVENTIF SOAL PERTANAHAN DI KECAMATAN SEI BEDUK
0
komentar
Pada 24 September kemarin adalah hari ulang tahun Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) yang ke 52, dan lebih dikenal sebagai Hari Tani berdasarkan Keppres Nomor 169 Tahun 1963. Prof Boedi Harsono (1962), pakar agraria Indonesia menyebut berlakunya UUPA sebagai “perombakan revolusioner daripada hukum agraria Indonesia, yang berupa penjebolan hukum agraria yang lama dan pembangunan hukum agraria jang baru.” Dikatakan perombakan revolusioner karena disamping UUPA menghapus dualisme hukum barat-kolonial dan hukum adat, UUPA juga mengatur ketentuan-ketentuan yang secara mendasar dapat merombak struktur sosial ekonomi masyarakat menjadi lebih baik dan adil, antara lain, penghapusan hak dan konsesi asing, perombakan mengenai penguasaan tanah (reforma agraria), dan perencanaan persediaan, peruntukan dan penggunaan tanah (landuse planning).
Kini, sesudah 52 Tahun pasca diundangkannya UUPA, ternyata permasalahan-sengketa-konflik yang berkaitan dengan tanah seakan makin membesar, yang kesemuanya dapat dikelompokkan sebagai berikut: pertama, adanya peraturan perundang-undangan terkait tanah yang saling ‘tumpang tindih’, seperti UUPA dengan UU Kehutanan atau UU Mineral dan Batubara; kedua, kasus-kasus tanah yang makin meningkat dan kerap mengakibatkan korban jiwa; ketiga, ketimpangan penguasaan tanah; keempat, kerusakan lingkungan akibat over eksploitasi karena belum adanya perencanaan tata guna tanah yang baik.
Khusus di Batam, potensi sengketa agraria cukup besar, karena disamping Batam merupakan daerah dengan pertumbuhan ekonomi sangat tinggi sehingga membutuhkan banyak lahan untuk investasi, disini juga merupakan kawasan khusus (free trade zone) yang memiliki pengaturan atas tanah yang khusus pula. Kedua hal tersebut secara berkelindan mengakibatkan tingginya sengketa lahan di Batam, yang terkadang menimbulkan korban jiwa. Pertanyaannya, mengapa masalah itu masih terjadi?
Pada dasarnya, UUPA merupakan perombakan hukum agraria kolonial, dimana tujuan utama hukum agraria kolonial adalah menyediakan lahan bagi pemerintah kolonial dan industri-perusahaan asing. Instrumen hukum yang dipergunakan oleh kolonial adalah agrarisch wet dengan domein verklaring-nya, dimana terhadap tanah-tanah yang tidak dapat dibuktikan kepemilikannya secara tertulis berupa Sertipikat dari Kantor Pertanahan berarti menjadi milik Negara Kolonial, dan Negara Kolonial berwenang memberikan tanah tersebut kepada perusahaan industri/perkebunan asing manapun.
Dengan adanya UUPA, maka keberadaan hukum adat yang pada umumnya belum mengenal pendaftaran tanah menjadi diakui dan menjadi dasar UUPA. Negara tidak bisa semena-mena lagi mengalokasikan lahan, juga tidak bisa semena-mena mengusir seseorang yang menguasai lahan dengan itikad baik. Meski UUPA secara tegas menyatakan bahwa Hukum Adat merupakan dasar UUPA, namun UUPA juga melakukan ‘modernisasi’ terhadap hukum adat (dalam bahasa UUPA: hukum adat yang di-saneer), misalkan ketentuan tentang pendaftaran tanah yang harus dilakukan secara tertulis oleh Kantor Pendaftaran Tanah setempat, bukan lagi secara-tidak-tertulis sebagaimana kebanyakan hukum adat-lama.
Pendaftaran tanah secara tertulis ala UUPA merupakan conditio sine qua non bagi terwujudnya kepastian hukum. Dengan adanya kepastian hukum, maka kemungkinan adanya sengketa tanah makin mengecil. Biasanya, kepastian hukum satu tarikan-nafas dengan keadilan. Namun, terkadang dalam kasus tertentu, kepastian hukum ‘bertolak-belakang’ dengan keadilan. Tentu keadilan-lah yang harus dimenangkan. Untuk itu, Sertipikat menurut UUPA bersifat ‘kuat’, bukan bersifat mutlak sebagaimana diterapkan di kebanyakan negara barat. Meski demikian, dalam perkembangannya kini mulai ‘mengarah’ ke mutlak, sebagaimana ketentuan Pasal 32 PP nomor 24 Tahun 1997, yang pada pokoknya suatu Sertipikat yang diperoleh dengan baik tidak dapat lagi diganggu gugat jika telah melewati masa lima tahun.
Dalam konteks Batam khususnya, kepastian hukum harus dijadikan landasan utama dalam setiap proses pendaftaran atas tanah yang ada di Provinsi ini. Kepastian hukum disini meliputi: pertama, kepastian atas hak atas tanahnya, seperti Hak Milik, HGB, HGU, Hak Pakai, Hak Pengelolaan, dst. Kepastian disini mencegah adanya tumpang tindihnya hak atas tanah. Kedua, kepastian mengenai siapa pemilik tanah (subyeknya), agar jangan sampai orang/badan hukum yang bukan subyek atas tanah melakukan tindakan hukum terhadap suatu bidang tanah, sehingga tumpang-tindihnya penguasaan/kepemilikan lahan dapatlah dihindari.
Ketiga, kepastian atas tanah yang dihaki tersebut (obyeknya), yang meliputi letak, luas dan batasnya, sehingga dengan adanya kejelasan obyek tanah ini akan menghindari sengketa dengan pihak-pihak lain, terutama dengan pihak yang berada di sekitar obyek tanah tersebut. Keempat, kepastian mengenai hukumnya, yaitu peraturan-peraturan yang meliputi bidang tanah, mulai dari UUPA, UU Kehutanan jika berkaitan dengan hutan, UU Mineral dan Batubara jika berkaitan dengan perijinan tambang, bahkan dengan Peraturan Daerah jika berkaitan dengan ijin lokasi atau PBB.
Dengan adanya kepastian hukum atas tanah, maka sengketa-sengketa tanah yang terjadi selama ini akan dapat diminimalisir, karena jika diperhatikan setiap sengketa tanah yang terjadi adalah akibat ketidak-jelasan data fisik ataupun data yuridis atas tanah, alias tidak jelas hukumnya, atau dengan kata lain belum ada kepastian hukum atas bidang tanah yang disengketakan tersebut. Terhadap sengketa tanah yang telah dan terlanjur terjadi, maka semua pihak harus berpijak dan patuh hukum, yaitu mentaati setiap Keputusan Badan/Pejabat Pengelola yang berwenang ataupun Putusan Pengadilan (penyelesaian sengketa pertanahan secara ‘represif’). Sedangkan terhadap tanah yang tidak/belum bersengketa yang jumlahnya jauh lebih banyak daripada tanah yang bersengketa, akan sangat bijak jika secara ‘preventif’ sesegera mungkin setiap Badan/Pejabat yang berkaitan dengan tanah untuk mengadakan pendaftaran atas semua tanah yang ada di Kepulauan Riau ini. PP Nomor 24 Tahun 1997 telah memperkenalkan pendaftaran tanah secara sporadik dan secara sistemik. Jika secara sporadik yang dilakukan sendiri-sendiri oleh warga sulit terlaksana dan mahal, bukankan sudah sepatutnya pendaftaran tanah secara sistemik yang dilaksanakan. Jikalau pendaftaran tanah secara sistemik terkendala biaya, maka pendaftaran ‘quasi-sistemik’ dapat dilaksanakan, yaitu prakarsa dari Pemerintah namun warga tetap harus membayar biaya pendaftaran tanah, yang tentu jumlahnya tidak terlalu besar karena dilakukan secara massal.Menyikapi kejadian yang terjadi di kawasan Tanjung Piayu utamanya di Kelurahan Duriangkan kami melihat beberapa hal kejanggalan yang kami uraikan sebagai berikut :
Kini, sesudah 52 Tahun pasca diundangkannya UUPA, ternyata permasalahan-sengketa-konflik yang berkaitan dengan tanah seakan makin membesar, yang kesemuanya dapat dikelompokkan sebagai berikut: pertama, adanya peraturan perundang-undangan terkait tanah yang saling ‘tumpang tindih’, seperti UUPA dengan UU Kehutanan atau UU Mineral dan Batubara; kedua, kasus-kasus tanah yang makin meningkat dan kerap mengakibatkan korban jiwa; ketiga, ketimpangan penguasaan tanah; keempat, kerusakan lingkungan akibat over eksploitasi karena belum adanya perencanaan tata guna tanah yang baik.
Khusus di Batam, potensi sengketa agraria cukup besar, karena disamping Batam merupakan daerah dengan pertumbuhan ekonomi sangat tinggi sehingga membutuhkan banyak lahan untuk investasi, disini juga merupakan kawasan khusus (free trade zone) yang memiliki pengaturan atas tanah yang khusus pula. Kedua hal tersebut secara berkelindan mengakibatkan tingginya sengketa lahan di Batam, yang terkadang menimbulkan korban jiwa. Pertanyaannya, mengapa masalah itu masih terjadi?
‘Positivisme’ dalam UUPA
Pada dasarnya, UUPA merupakan perombakan hukum agraria kolonial, dimana tujuan utama hukum agraria kolonial adalah menyediakan lahan bagi pemerintah kolonial dan industri-perusahaan asing. Instrumen hukum yang dipergunakan oleh kolonial adalah agrarisch wet dengan domein verklaring-nya, dimana terhadap tanah-tanah yang tidak dapat dibuktikan kepemilikannya secara tertulis berupa Sertipikat dari Kantor Pertanahan berarti menjadi milik Negara Kolonial, dan Negara Kolonial berwenang memberikan tanah tersebut kepada perusahaan industri/perkebunan asing manapun.
Dengan adanya UUPA, maka keberadaan hukum adat yang pada umumnya belum mengenal pendaftaran tanah menjadi diakui dan menjadi dasar UUPA. Negara tidak bisa semena-mena lagi mengalokasikan lahan, juga tidak bisa semena-mena mengusir seseorang yang menguasai lahan dengan itikad baik. Meski UUPA secara tegas menyatakan bahwa Hukum Adat merupakan dasar UUPA, namun UUPA juga melakukan ‘modernisasi’ terhadap hukum adat (dalam bahasa UUPA: hukum adat yang di-saneer), misalkan ketentuan tentang pendaftaran tanah yang harus dilakukan secara tertulis oleh Kantor Pendaftaran Tanah setempat, bukan lagi secara-tidak-tertulis sebagaimana kebanyakan hukum adat-lama.
Pendaftaran tanah secara tertulis ala UUPA merupakan conditio sine qua non bagi terwujudnya kepastian hukum. Dengan adanya kepastian hukum, maka kemungkinan adanya sengketa tanah makin mengecil. Biasanya, kepastian hukum satu tarikan-nafas dengan keadilan. Namun, terkadang dalam kasus tertentu, kepastian hukum ‘bertolak-belakang’ dengan keadilan. Tentu keadilan-lah yang harus dimenangkan. Untuk itu, Sertipikat menurut UUPA bersifat ‘kuat’, bukan bersifat mutlak sebagaimana diterapkan di kebanyakan negara barat. Meski demikian, dalam perkembangannya kini mulai ‘mengarah’ ke mutlak, sebagaimana ketentuan Pasal 32 PP nomor 24 Tahun 1997, yang pada pokoknya suatu Sertipikat yang diperoleh dengan baik tidak dapat lagi diganggu gugat jika telah melewati masa lima tahun.
Dalam konteks Batam khususnya, kepastian hukum harus dijadikan landasan utama dalam setiap proses pendaftaran atas tanah yang ada di Provinsi ini. Kepastian hukum disini meliputi: pertama, kepastian atas hak atas tanahnya, seperti Hak Milik, HGB, HGU, Hak Pakai, Hak Pengelolaan, dst. Kepastian disini mencegah adanya tumpang tindihnya hak atas tanah. Kedua, kepastian mengenai siapa pemilik tanah (subyeknya), agar jangan sampai orang/badan hukum yang bukan subyek atas tanah melakukan tindakan hukum terhadap suatu bidang tanah, sehingga tumpang-tindihnya penguasaan/kepemilikan lahan dapatlah dihindari.
Ketiga, kepastian atas tanah yang dihaki tersebut (obyeknya), yang meliputi letak, luas dan batasnya, sehingga dengan adanya kejelasan obyek tanah ini akan menghindari sengketa dengan pihak-pihak lain, terutama dengan pihak yang berada di sekitar obyek tanah tersebut. Keempat, kepastian mengenai hukumnya, yaitu peraturan-peraturan yang meliputi bidang tanah, mulai dari UUPA, UU Kehutanan jika berkaitan dengan hutan, UU Mineral dan Batubara jika berkaitan dengan perijinan tambang, bahkan dengan Peraturan Daerah jika berkaitan dengan ijin lokasi atau PBB.
Dengan adanya kepastian hukum atas tanah, maka sengketa-sengketa tanah yang terjadi selama ini akan dapat diminimalisir, karena jika diperhatikan setiap sengketa tanah yang terjadi adalah akibat ketidak-jelasan data fisik ataupun data yuridis atas tanah, alias tidak jelas hukumnya, atau dengan kata lain belum ada kepastian hukum atas bidang tanah yang disengketakan tersebut. Terhadap sengketa tanah yang telah dan terlanjur terjadi, maka semua pihak harus berpijak dan patuh hukum, yaitu mentaati setiap Keputusan Badan/Pejabat Pengelola yang berwenang ataupun Putusan Pengadilan (penyelesaian sengketa pertanahan secara ‘represif’). Sedangkan terhadap tanah yang tidak/belum bersengketa yang jumlahnya jauh lebih banyak daripada tanah yang bersengketa, akan sangat bijak jika secara ‘preventif’ sesegera mungkin setiap Badan/Pejabat yang berkaitan dengan tanah untuk mengadakan pendaftaran atas semua tanah yang ada di Kepulauan Riau ini. PP Nomor 24 Tahun 1997 telah memperkenalkan pendaftaran tanah secara sporadik dan secara sistemik. Jika secara sporadik yang dilakukan sendiri-sendiri oleh warga sulit terlaksana dan mahal, bukankan sudah sepatutnya pendaftaran tanah secara sistemik yang dilaksanakan. Jikalau pendaftaran tanah secara sistemik terkendala biaya, maka pendaftaran ‘quasi-sistemik’ dapat dilaksanakan, yaitu prakarsa dari Pemerintah namun warga tetap harus membayar biaya pendaftaran tanah, yang tentu jumlahnya tidak terlalu besar karena dilakukan secara massal.Menyikapi kejadian yang terjadi di kawasan Tanjung Piayu utamanya di Kelurahan Duriangkan kami melihat beberapa hal kejanggalan yang kami uraikan sebagai berikut :
- Pada tahun 2006, 2011 beberapa tokoh yang mengatasnamakan organisasi kemasyarakatan keluarahan duriangkang mengajukan fasilitas Fasum untuk lahan tersebut dan alhamdulilah pengajuan tersebut tidak didapatkan
- Kemudian pada bulan Februari 2016 PT.PANDAWA LIMA Mengajukan permohonan untuk mengolah lahan tersebut dikarenakan dilokasi lahan sudah tercemar polusi udara karena adanya aktifitas kandang kambing serta lokasi tersebut perlu penataan agar menjadi indah dipandang dan ditengah proses pengajuan hadirlah Bpk. Suwardi selaku ketua Forum FKTW untuk meminta agar diselipkan fasum lapangan sepakbola
- Dengan berbekal surat dari permintaan lapangan sepakbola dirubahlah gambar Site pland dengan menambahkan fasilitas lapangan sepakbola.
- Surat Dari Badan Penguasaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam Nomor B/3315/A4.2/3/2016 Tanggal 31 Maret 2016 Mengenai Persetujuan Pengelolaan Lahan dengan Luas Lahan untuk kavling Siap Bangun seluas 28.623,88 m2 yang berada diwilayah Tanjung Piayu dengan kondisi tanah mentah sesuai dengan Gambar Perencanaan Kasiba Swadaya PT PANDAWA LIMA SUKSES
- Sebelum kami memulai mengerjakan pengelolaan lahan tersebut, munculah miss komunikasi warga yang mengatasnamakan lembaga masyarakat sibuk melakukan pertemuan dan tanpa meminta konfirmasi kekami,sehingga menjadikan suasana menjadi memanas.dan pertemuan ketiga karena kami merasa peduli dengan masyarakat maka kami mencoba memberikan klarifikasi ke masyarakat mengenai pertanyaan yang selalu muncul
- Ada salah satu warga yang mengatas namakan tokoh masyarakat mengatakan bahwa beliau sudah mengajukan beberapa kali ijin pengelolaan lahan, dengan statemen tersebut tentunya beliau mengetahui bahwa lahan tersebut adalah syah milik BP Batam, namun yang terjadi sekarang dengan perkembangan yang ada justru menjadi "Pengacara" dari salah satu orang yang merasa mempunyai lahan tersebut.
- Ketakutan warga atas terjadinya "banjir" dikarenakan adanya kavling, dalam benak kami bertanya apa bedanya kavling kemudian ada perumahan dan gedung sebuah yayasan pendidikan dan fasum yang ada, sama sama menggunakan gedung juga
- Keributan yang terjadi adalah permasalahan intern organisasi masyarakat dimana dalam hal ini lebih karena faktor kecurigaan dan ketidak puasan karena dikerjakan oleh PT atau lebih dikenal perusahaan komersial.
wong jowo ngomong "ono rembug ayo dirembug , gunakno akal ojo okol"
TERIMA KASIH ATAS KUNJUNGAN SAUDARA
Judul: UPAYA PREVENTIF SOAL PERTANAHAN DI KECAMATAN SEI BEDUK
Disajikan oleh Unknown
Rating Tulisan 5 dari 5
Semoga Tulisan ini bermanfaat bagi saudara. Jika ingin mengutip, baik itu sebagian atau keseluruhan dari isi tulisan ini harap menyertakan link dofollow ke http://pandawalimasukses.blogspot.com/2016/05/menyikapi-adanya-sengketa-lahan-di.html. Terima kasih sudah singgah membaca Tulisan ini, PT. PANDAWA LIMA SUKSESDisajikan oleh Unknown
Rating Tulisan 5 dari 5